Soal jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau bukan menjadi topik hangat pagi ini di antara para follower @nukman. Sebagian besar memandang sebelah mata, bahkan seperti melecehkan, bahwa sebenarnya lebih keren, lebih besar penghasilan pengusaha, lho, ketimbang PNS. Apalagi dengan banyaknya kejadian para calon PNS ini rela menghamburkan uang puluhan juta rupiah agar mulus jalannya jadi PNS, yang sayangnya kebanyakan bernasib malang. Tertipu, dan uang melayang. Penyebab lainnya mengapa orang-orang ini menjadi seperti sinis pada PNS, tentulah karena pemberitaan korupsi PNS yang tak henti-hentinya. Belum lagi pengalaman buruk masyarakat dilayani petugas di berbagai kantor pemerintahan, yang sepertinya memberikan semacam trauma pada PNS.
Sudah lima tahun saya jadi PNS. Jadi PNS ini sebenarnya ladang ibadah, lho. Melayani masyarakat. Sayangnya kebanyakan yang terlihat dari luar justru yang jelek-jeleknya saja. PNS seperti pengangguran yang lebih banyak nongkrong di warung kopi atau jalan-jalan ke mall pada jam kerja. Saya cenderung melihatnya sebagai orang-orang yang tak memahami tupoksi mereka. PNS punya tupoksi, tugas pokok dan fungsi. Semacam job description begitulah. Tanpa pemahaman terhadap tupoksi, akibatnya mereka hanya menunggu perintah dari atasan baru bekerja, selebihnya menganggur.
Saya memang bukan termasuk PNS yang wajib apel pukul 7 pagi dan stand by di kantor sampai sore. Saya punya profesi sebagai tenaga pengajar, alias dosen, yang diminta meluangkan waktu sesuai beban kerja saja. Yakni mengajar dan membimbing mahasiswa, plus rapat-rapat tentunya. Dosen adalah sebuah profesi yang tak pernah terbayangkan dalam sejarah saya memiliki cita-cita. Apalagi saya juga bukan termasuk mahasiswa yang lulus dengan nilai gemilang. Ditambah lagi dengan lingkungan keluarga yang kebanyakan pengusaha. Tapi kenyataan berkata lain, buah iseng-iseng saya melamar sebuah posisi di universitas ternyata diterima.
Sudah tercebur, ya harus basah.
Awalnya, menjadi dosen saya rasakan cukup mudah. Selesai mengajar, beres, deh. Tinggal meningkatkan kemampuan diri agar bisa menyampaikan materi secara baik dan menambah wawasan supaya tidak ketinggalan zaman. Makin ke sini, saya rasakan tugas dosen semakin berat. Harus meneliti. Harus membimbing mahasiswa. Harus membuat karya ilmiah. Harus membuat kegiatan pengabdian masyarakat. Harus aktif menulis, mulai dari menulis artikel di media massa, menulis buku, menjadi editor buku dan lain sebagainya.
Siang tadi, pihak kampus menyosialisasikan beban kerja dosen yang harus dievaluasi setiap tahun. Masing-masing kegiatan dihitung SKS-nya. Ya, miriplah dengan mahasiswa yang mengambil mata kuliah dengan jumlah SKS hingga maksimal 24 SKS dalam satu semester. Seorang dosen biasa minimal dalam setahun harus memenuhi 18 SKS untuk mengajar dan meneliti, plus 6 SKS dari pengabdian masyarakat.
Jangan disangka mudah!
Dengan satu mata kuliah saja, mahasiswa bisa dengan mudah mendapatkan 2-3 SKS. Sedangkan dosen mengajar satu mata kuliah hanya dihitung 1 SKS! Kalau mata kuliah tersebut ditangani tim, yang terdiri dari 2-3 dosen, makan 1 SKS itu dibagi-bagi lagi! Ada banyak aturan yang sangat mendetail untuk menghitung jumlah SKS yang dinilai dari penelitian ilmiah hingga penerbitan buku.
I feel like I’m exhausted already.
Saya tidak tahu apakah yang semacam ini juga berlaku bagi dosen yang mengajar di universitas swasta. Sepertinya berbeda, ya?
Keruwetan bukan cuma sampai di situ. Sebagai PNS, ada urusan birokrasi lain yang harus dibereskan, seperti kenaikan pangkat, dan pengurusan jabatan fungsional. Itu yang saya tahu. Mungkin masih ada yang lain. Ah, ya, sertifikasi dosen misalnya.
Hanya karena Pontianak kota kecillah yang sepertinya membuat saya sanggup menjalaninya hingga hari ini. Tak terbayang jika saya tinggal di kota besar dengan kesibukan lalu lintas yang padat. Kapan saya ketemu anak? Kadang terlintas keinginan melepaskan diri dari PNS. Bukan karena saya tak suka jadi dosen, lho. Saya suka. Seperti ketika sedang bersiaran, rasanya menyenangkan bisa berbagi pengetahuan dengan orang lain. Namun ketika harus berurusan dengan birokrasi, serasa lumpuh. Betapa banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal faktor utama yang membuat saya berani terjun ke kampus adalah keyakinan akan bisa membagi waktu lebih banyak di rumah. Apabila saya perhatikan kolega-kolega di kampus, terutama yang muda-muda dan penuh semangat, saya sungguh terkagum-kagum melihat dedikasi mereka. Rela berpisah dengan anak berminggu-minggu untuk turun ke daerah penelitian atau menempuh pendidikan di kota lain.
Saya sangka cuma saya yang punya pikiran gila macam itu. Orang lain susah-susah jadi PNS kok ini malah mau kabur. Ternyata saya tidak sendiri, lho. Suami saya menceritakan satu dosennya yang tergolong cukup senior di ITB, dosen pria yang sudah berkeluarga, seseorang yang cukup terkenal di bidangnya, sudah Ph. D, dengan sukarela mengundurkan diri dari PNS. Ia tak sanggup menghadapi keruwetan birokrasi yang ada. Tetapi tentu saja berkat keahliannya, ia tetap mengajar, sebagai dosen luar biasa.
Apakah lantas saya akan memilih jalan yang sama? Tunggu dulu. Jalan boleh sama, nasib belum tentu, kan. Memangnya ada jaminan universitas masih mau memakai jasa saya mengajar setelah lepaskan PNS? :D
Berhubung saya masih cukup tahu diri, dan masih ingin bersyukur dengan nikmat yang didapat, Insya Allah, saya akan menjalaninya sekuat tenaga. Doakan ya.
sumber: http://brightlittlestars.wordpress.com/2012/02/29/sedikit-pengalaman-jadi-pns/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar